Zawjati

Jumat, 28 Juni 2013


HUKUM TAJDIDUN NIKAH MENURUT PENDAPAT PARA ULAMA

Khilaf (terdapat perbedaan pendapat Ulama'). Menurut Qaul shahih (pendapat yang benar) hukumnya jawaz (boleh) dan tidak merusak pada 'Akad nikah yang telah terjadi. Karena memperbarui 'Aqad itu hanya sekedar keindahan (al-Tajammul) atau berhati-hati (al-Ihtiyath). Menurut qaul lain (pendapat lain) 'aqad baru tersebut bisa mereusak 'aqad yang telah terjadi.
Keterangan dari kitab Hasyaih al-Jamal ala al-Minhaj juz IV hal. 245

حاشية الجمل على المنهج الجزء الرابع صحيفة 245
وعبارته: لأن الثاني لايقال له عقد حقيقة بل هو صورة عقد خلافا لظاهر ما في الأنوار ومما يستدل به على مسئلتنا هذه ما في فتح الباري في قول البخاري إلي أن قال قال ابن المنير يستفاد من هذا الحديث ان إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم انه لايكون فسخا كما قاله الجمهور إهـ
الأنوار لأعمال الأبرار ج-7 ص: 88
لو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر أخر لأنه إقرار في الفرقة وينتقص به الطلاق ويحتاج إلي التحليل في المرة الثالثة.
Seandainya seseorang memperbaharui nikah dengan istrinya maka wajib baginya membayar mahar lagi karena hal tersebut merupakan penetapan didalam perceraian (al-Firqati). Syukran semoga ada manfaatnya


Praktek diatas dalam pandangan fiqih disebut tajdid nikah atau pembaruan nikah. Tajdid nikah itu hukumnya boleh, apabila bertujuan untuk menguatkan status pernikahan, seperti pada kasus diatas, pernikahan kedua dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh legalitas dan status hukum yang jelas dari pemerintah.

Sedangkan hal yang menjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama' madzhab Syafi'i adalah tentang status akad nikah dan mengenai pemberian maharnya;

1.Menurut pendapat mayoritas ulama', akad nikah kedua tidak merusak akad pertama, sebab akad yang kedua hanyalah akad nikah yang dalam bentuknya saja, dan hal tersebut bukan berrti merusak akad yang pertama. Pendapat ini merupakan pendapat yang Shohih dalam madzhab Syafi'i, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Sedangkan dalil bahwa akad kedua tidak merusak akad pertama, seperti yang dijelaskan Imam Ibnul Munir adalah hadits yang diriwayatkan Salamah rodhiyallohu 'anha ;

بَايَعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ، فَقَالَ لِي: «يَا سَلَمَةُ أَلاَ تُبَايِعُ؟»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَدْ بَايَعْتُ فِي الأَوَّلِ، قَالَ: وَفِي الثَّانِي

Kami melakukan bai’at kepada Nabi SAW di bawah pohon kayu. Ketika itu, Nabi SAW menanyakan kepadaku : “Ya Salamah, apakah kamu tidak melakukan bai’at ?. Aku menjawab : “Ya Rasulullah, aku sudah melakukan bai’at pada waktu pertama (sebelum ini).” Nabi SAW berkata : “Sekarang kali kedua.” (Shohih Bukhori, no.7208)

Karena akad yang kedua tidak merusak akad nikah yang pertama, maka akad yang kedua juga tidak mengurangi jatah talak suami, jika sebelumnya belum menjatuhkan talak, maka jatah talaknya masih 3, dan bila sudah menjatuhkan talak satu, maka jatah talaknya tinggal 2 dan seterusnya. Begitu juga pihak laki-laki tidak perlu memberikan mahar lagi.

2.Menurut Syekh Ardabili, sebagaimana yang beliau jelaskan dalam kitab Al-Anwar Li A'malil Abror, dengan melakukan tajdid nikah, maka nikah yang pertama telah rusak, dan tajdid nikah itu dianggap sebagai pengakuan (iqror) perpisahan, dan tajdid nikah tersebut mengurangi jatah talak suami, dan diharuskan memberikan mahar lagi.

Kesimpulannya, akad nikah yang dilakukan oleh petugas KUA itu diperbolehkan, apalagi hal ini menyangkut legalitas akad nikah, dan menurut pendapat mayoritas ulama' akad nikah yang kedua tidak wajib menggunakan mahar dan akad kedua tersebut tidak mengurangi hitungan nikah suami. Wallohu a'lam.

Referensi :
1. Qurrotul 'Ain Bi Fatawi Isma'il Az-Zen, Hal :148
2. Tuhfatul Muhtaj, Juz : 7 Hal : 391
3. Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 13 Hal : 199
4. Al Anwar Li A'malil Abror, Juz : 2 Hal : 88

Ibarot :
Qurrotul 'Ain Bi Fatawi Isma'il Az-Zen, Hal :148

حكم التجديد النكاح
سؤال : ما حكم تجديد النكاح ؟
الجواب: أنه إذا قصد به التأكيد فلا بأس به لكن الأولى تركه والله أعلم

تجديد عقد النكاح لا يوجب مهرا جديدا
سؤال : ماقولكم فيمن جدد نكاحه فهل يجب عليه أو يسن أن يعطيها الصداق مرة ثانية لذكره في العقد الجديد أولا سواء طلقها الزوج بعد ذلك أو لا ؟
الجواب : لايجب عليه أن يجدد صداقا وتجديد صيغة عقد النكاح فإنما هي للتأكيد والأولى والله سبحانه وتعالى أعلم

Tuhfatul Muhtaj, Juz : 7 Hal : 391

ولو توافقوا) أي الزوج والولي والزوجة الرشيدة فالجمع باعتبارها أو باعتبار من ينضم للفريقين غالبا (على مهر سرا وأعلنوا بزيادة فالمذهب وجوب ما عقد به) أولا إن تكرر عقد قل أو كثر اتحدت شهود السر والعلن أم لا لأن المهر إنما يجب بالعقد فلم ينظر لغيره ويؤخذ من أن العقود إذا تكررت اعتبر الأول مع ما يأتي أوائل الطلاق أن قول الزوج لولي زوجته زوجني كناية بخلاف زوجها فإنه صريح أن مجرد موافقة الزوج على صورة عقد ثان مثلا لا يكون اعترافا بانقضاء العصمة الأولى بل ولا كناية فيه وهو ظاهر ولا ينافيه ما يأتي قبيل الوليمة أنه لو قال كان الثاني تجديد لفظ لا عقدا لم يقبل لأن ذاك في عقدين ليس في ثانيهما طلب تجديد وافق عليه الزوج فكان الأصل اقتضاء كل المهر وحكمنا بوقوع طلقة لاستلزام الثاني لها ظاهرا وما هنا في مجرد طلب من الزوج لتحمل أو احتياط فتأمله

Fathul Bari Li Ibnu Hajar, Juz : 13 Hal : 199

حدثنا أبو عاصم، عن يزيد بن أبي عبيد، عن سلمة، قال: بايعنا النبي صلى الله عليه وسلم تحت الشجرة، فقال لي: يا سلمة ألا تبايع؟، قلت: يا رسول الله، قد بايعت في الأول، قال: وفي الثاني
.................................
وقال بن المنير : يستفاد من هذا الحديث أن إعادة لفظ العقد في النكاح وغيره ليس فسخا للعقد الأول خلافا لمن زعم ذلك من الشافعية قلت الصحيح عندهم أنه لا يكون فسخا كما قال الجمهور

Al Anwar Li A'malil Abror, Juz : 2 Hal : 88


ولو عقد بالسر بألف وفى العلانية بألفين وهما متفقان على بقاء العقد الاول فالمهر الف–الى ان قال– ولو جدد رجل نكاح زوجته لزمه مهر اخر لانه اقرار بالفرقة وينتقص به الطلاق ويحتاج الى التحليل فى امرأة الثالثة اه

Jumat, 07 Juni 2013

A.PENDAHULUAN

Imam Al-Ghazali (1058-1111 M) dikenal sebagai ulama yang banyak mengkritik pendapat para filosof pendahulunya, seperti Aristoteles (382-322 SM), Al-Farabi (874-999 M), Ibn Sina (980-1037) dan lain-lain. Adapun pendapat mereka yang ia kritik adalah 20 masalah metafisika. Tiga diantaranya Al-Ghazali mengatakan bahwa filsafatmereka membawa kepada kekufuran yaitu:
§  Bahwa aliran alam tidak bermula (qadim).
§  Bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juz’iyat) yang terjadi di alam.
§  Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-jasad) di akhirat.1
Sedang masalah metafisika yang lainnya Al-Ghazali mengidentikkan mereka dengan Mu’tazilah.
Sebagai pembelaan atas kaum filosof terhadap serangan-serangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd (1126-1198 M) menulis buku yang berjudul “Tahafut al-Tahafut” (kekacauan diatas kekacauan), sebagai bantahan dan jawaban terhadap buku Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut al-Falasifah” (kekacauan pemikiran filosof-filosof).

B. Kritik al-Ghazali.

al-Ghazali berpendapat bahwa pemikiran para filosof tentang metafisika bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk itu, ia mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme muslim (Al-Farabi dan Ibn Rusyd), yaitu dalam masalah alam tidak bermula (qadim), Tuhan tidak mengetahui perincian dalam dan pembangkitan jasmani tidak ada.3
1.Alam Qadim
Dikalangan pemikir Yunani seperti Aristoteles, mengatakan bahwa alam ini qadim dalam arti tidak ada awalnya.4 Dan faham ini juga dianut para filosof muslim seperti Al-Farabi dan Ibn Rusyd, mereka membuat beberapa alasan yaitu:
§  Mustahil secara mutlak yang baharu muncul dari yang qadim.
§  Tuhan lebih dahulu daripada alam.
Tuhan lebih dahulu daripada alam bukan dari segi zaman melainkan dari segi zat (tingkatan), seperti terdahulunya bilangan satu dari dua, atau dari segi kausalitasnya, seperti dahulunya gerakan seseorang atas gerakan bayangannya, sedang gerakan tersebut sebenarnya sama-sama mulai dan sama-sama berhenti, artinya sama dari segi zaman. Berarti Tuhan lebih dahulu daripada alam dan zaman, dari segi zaman, bukan dari segi zat, maka artinya sebelum wujud alam dan zaman tersebut, sudah terdapat suatu zaman dimana (tidak ada) murni terdapat didalamnya sebagai hal yang mendahului wujud alam.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya.
Tiap-tiap yang baru didahului oleh bendanya untuk didapat dikatakan bahwa benda itu baru. Yang baru hanyalah form, sifat-sifat dan peristiwa-peristiwa yang mendatangkan kepada benda.5
Al-Ghazali menjawab alasan-alasan para filosof tersebut dengan membedakan antara iradat yang qadim dengan apa yang dikehendakinya. Kehendak Allah yang azali adalah mutlak, artinya bisa memilih sewaktu-waktu tertentu, bukan waktu lainnya, tanpa ditanyakan sebabnya karena sebab tersebut adalah kehendakNya sendiri. Kalau masih ditanya sebabnya, maka artinya kehendak Tuhan itu terbatas tidak lagi bebas.6
Menurut al-Ghazali, terdahulunya tuhan dari alam dan zaman ialah maksudnya adalah bahwa tuhan sudah ada sendirian pada saat alam belum ada, kemudian Ia menciptakan alam, hingga pada saat itu tuhan ada beserta alam. Pada keadaan pertama adanya zat Tuhan yang sendirian dan pada keadaan yang kedua adanya zat Tuhan zat alam, sedangkan alam hanyalah gerakan alam yang berarti sebelum ada ada benda ( alam) tentu saja belum ada alam.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, alam itu bukanlah suatu sistem yang berdiri sendiri, bebas dari lainnya, bergerak, berubah, tumbuh dan berkembang dnegan dirinya, dengan hukum-hukumnya. Tetapi wujud, sistem dan hukum-hukumnya bertopang padaAllah. Dia lah yang mencipta, menahan, mengendalikan, menghidupkan dan mematikan segala sesuatu.7
Dengan demikian menurut Al-Ghazali bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam Tuhan adalah pencipta, yang dimaksud dengan pencipta adalah yang menciptakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilo). Kalau alam dikatakan qadim, berarti alam tidak diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta, sedangkan Al Qur’an menyebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut Al-Ghazali alam haruslah hadist (Bermula).8 Jika alam qadim berarti ada banyak yang qadim, hal ini mengindikasikan kesyirikan atau justru tidak perlu adanya Tuhan sang pencipta.9
2. Tuhan tidak mengatahui hal-hal juz’iyyah.

Para filosof berpendapat bahwa tuhan tidak mengatahui hal-hal kecil kecuali yang dengan cara kulliy. Dengan alasan yang baru ini dengan segala peristiwanya selalu berubah, sedangkan ilmu selalu tergantung kepada yang diketahui atau dengan kata lain perubahan perkara yang diketahui menyebabkan perubahan ilmu. Kalau ilmu berubah, yaitu dari tahu menjadi tidak tahu, atau sebaliknya berarti Tuhan mengalami perubahan, sedangkan perubahan pada zat Tuhan tidak mungkin terjadi.
Misalnya pada peristiwa gerhana matahari, sedangkan sebelumnya tidak gerhana dan gerhana akan hilang. Sebelumnya kita mengetahui gerhana itu tidak ada dan ketika terjadi gerhana pengetahuan kita berubah jadi mengetahui adanya gerhana, lalu ketika gerhana berlalu, pengetahuan kita berubah jadi mengetahui tidak ada gerhana lagi. Dari contoh ini bisa menunjukkan pengetahuan yang satu bisa menggantikan pengetahuan yang lain.
Tuhan mengetahui gerhana dengan segala ifat-sifatNya, pengetahuan yang azali, abadi dan tidak berubah-ubah seperti hukum alam yang menguasai terjadinta gerhana.jadi ilmu Tuhan mengetahui sejak azali karena sebab-sebab yang ditimbulkan oleh sebab-sebab lain yang sifatnya juz’i.
Menurut Al-Ghazali, ilmu adalAh suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat. Kalau terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaan-Nya yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada yang berdiri di sebelah kanan kita kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka sebenarnya yang berubah adalah kita bukan Dia. 
Argumentasi Al-Ghazali ini juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an yang memberi petunjuk bahwa Tuhan mengetahui yang juz’iyah seperti firmanNya dalam Surah Al-Hujurat Ayat 16: 
16. Katakanlah: "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu?"
Dalam Surah Yunus Ayat 61: 
“Tidak luput dari pengetahuan Tuhan biarpun sebesar Zarrah di bumi ataupun di langit, tidak ada yang lebih kecil dan tidak pula yang besar dari itu.”
3. Tidak ada kebangkitan jasmani
Para filosof berkeyakinan bahwa alam akhirat adalah alam keruhanian, bukan materil. Karena perkara keruhanian lebih tinggi nilainya daripada alam materil. Karena itu pikiran tidaklah mengharuskan adanya kebangkitan jasmani, kelezatan atau siksaan jasmani, surga atau neraka serta segala isinya.12
Pada intinya menurut mereka mustahil manusia dibangkitkan kembali dengan jasad yang semula, sebab jasad tersebut telah hancur dan terurai menjadi bahan makanan dan menjadi bagian dari tubuh makhluk lain seperti hewan, tumbuhan atau bahkan manusia lainnya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa jika manusia tetap wujud sesudah mati, karena ia merupakan substansi yang berdiri sendiri. Pendirian tersebut tidak berlawanan dengan syara’, bahkan ditunjukkan seperti disebutkan dalam Al-Qur’an dalam Surah Yasin ayat 78 dan 79:
“ia berkata: “siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang yang telah hancur luluh?,katakanlah: “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.”

D. Pembelaan Ibnu Rusyd.

Para filosof seperti Ibn Rusyd menolak kritik tersebut. Pembelaan tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Tentang qadimnya alam
Ibn Rusyd13 dalam kedudukannya sebagai filosof yang bertujuan mencari kebenaran, lewat penafsirannya terhadap Al-Qur’an secara rasional telah menawarkan keselarasan antara agama dan filsafat serta tentang ketidak bermulaan alam ini.14 Ibn menjelaskan bahwa pendapat kaum teolog tentang dijadikannya alam dari tiada itu tidak berdasar pada argumen syariat yang kuat, karena tidak ada ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, lalu ia menjadikan alam: pendapat bahwa pada mulanya yang ada hanya wujud Tuhan ( seperti pendapat Al-Ghazali), menurut Ibn Rusyd hanyalah merupakan interprestasi kaum theologi semata, karena Alquran al-Karim telah mengatakan bahwa alam ini bukan dijadikan dari tiada tapi dari sesuatu yang ada, seperti yang disebutkan dalam surah al-Hud: 
“Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan tahtanya pada waktu itu berada di atas air”
Dapat diambil kesimpulan sebelum adanya wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya sebelum langit dan bumi diciptakan Tuhan telah ada air dan tahta.15 Dan dari surah al fushilat ayat 11 yang artinya: kemudian ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Dapat dipahami bahwa sebelum alam ini diciptakan telah ada benda-benda lain yaitu air dan uap. Menurut Ibn Rusyd, benda-benda itulah yang merupakan cikal bakal terjadinya alam. Alam dalam arti umumnya adalah kekal dari sejak zaman lampau atau qadim.16
Ibn Rusyd berpendapat bahwa benar ada penciptaan oleh Tuhan, tetapi penciptaan yang berlangsung terus menerus setia saat dalambentuk perubahan alam yang berkelanjutan. Semua bagian alam berubah dalam bentuk baru, menggantikan bentuk lama. Pencipta aktif yang terus menerus inilah yang harus disebut pencipta.
Untuk memperkuat pendapatnya tentang kekekalan alam itu Ibn Rusyd lebih lanjut merujuk kepada surah Ibrahim ayat 48 yang menjelaskan bahwa alam ini berkelangsungan dan diwujudkan terus menerus. Dengan alasan itu menurutnya bahwa pendapat para filosof tersebut tidak bertentangan dengan Alquran al-Karim.
2. Tentang Pengetahuan Tuhan.
Ibn Rusyd menyatakan bahwa Al Ghazali telah memahami pendapat para filosof bahwa Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam ini. Para filosof , kata Ibn Rusyd, tidak pernah menyatakan demikian, yang dikatakan oleh para filosof terutama Ibn Sina ialah bahwa cara Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat khusus ini melalui ilmuNya yang bersifat kully.18 dan dengan mengetahui sebab-sebabnya saja Tuhan dapat mengetahui segala akibat yang akan timbul darinya secara tidak langsung. Dengan kata lain segala peristiwa yang terjadi di alam ini telah diketahui oleh Tuhan sejak azali, yakni sebelum hal tersebut terwujud dalam bentuknya yang konkrit. Karena ilmuNya terhadap sesuatu itu adalah menjadi sebab bagi terjadinya hal tersebut. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil (juz’iyat), maka berarti pengetahuan Tuhan disebabkan oleh hal-hal yang kurang sempurna, dan hal ini tidak wajar bagi Tuhan.19
Menurut Ibn Rusyd, untuk mengetahui sesuatu Tuhan tidak membutuhkan alat indra sebagai mana manusia, jika Al-quran menggambarkan Tuhan mendengarkan dan melihat hal itu tidak dapat diartikan secara fisik, dan hal itu dimaksudkan untuk menginginkan manusia agar mengetahui bahwa Tuhan tidaklah dapat dihalang-halangi oleh jenis pengetahuan macam apapun. Karena Ia melihat dan mendengar segala secara dengan caranya sendiri. Jadi tuhan tidak mengetahui segala sesuatu secara juz’I sebagaimana halnya manusia.
3. Tentang kebangkitan jasmani
Dalam memnantah gugatan Al-Ghazali tentang perkara ini,ibn rusyd mengatakan bahwa para filosif tidak mengingkari adanya kebangkitan, hanya saja ada yang berpendapat bahwa kebangkitan tersebut secara ruhaniah bukan materi. Meskipun demikian Ibn Rusyd tidak mau menafikan kemungkina adanya kebangkitan jasmani bersama ruhani. Tetapi kalaupun ada kebangkiatan jasmani, namun bukanlah jasad yang ada didunia, sebab jasad tersebut telah hancur dan lenyap disebabkan kematian, sedangkan yang telah hancur mustahil dapat kembali seperti semula.20
Di dalam surga terdapat sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata dan tidak pernah terdengar oleh telinga, mengindikasikan bahwa di dalam Surga bahwa nannti manusia tidak berbentuk wujud jasad. Oleh karena itu ayat Al-Quran mengenai hal ini harus difahami secara metaforis.
Lebih lanjut Ibn rusyd menganalogikan antar tidur dan kematian. Menurutnya, bahwa perbandingan antara tidur dan kematian itu merupakan bukti yang terang untuk menyatakan bahwa jiwa itu hidup terus, karena aktivitas jiwa berhenti bekerja pada saat tidur dengan cara tidak bekerjanya organ-organ tubuhnya, tetapi keberadaan atau kehidupan jiwa itu tidaklah berhenti. Oleh karena itu sudah semestinya keadaan jiwa pada saat kematian itu sama dengan pada saat tidur.21 
Selanjutnya Ibn Rusyd menyatakan al-Ghazali sebagai orang yang tidak konsisten. Dalam bukunya Tahafut al-Falasafah ia mengatakan bahwa kebangkitan itu tidak hanya badan, tetapi dalam bukunya yang lain ia mengatakan kebangkitan bagi kaum sufi hanya akan terjadi dalam bentuk alam ruhani dan tidak dalam bentuk jasmani. Tetapi meskipun demikian menurut Ibn Rusyd, teori pembangkitan jasmani dan ruhani itu diperlukan bagi orang awam.22

E. PENUTUP

Dari penjelasan diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dan kaum filosof tentang arti baru dan qadim. Baru menurut Al-Ghazali berati mewujudkan dari tiada, sedangkan menurut kaum filosif kata itu berarti mewujudkan yang tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan qadim menurut Al-Ghazali ialah suatu yang berwujud tanpa sebab,sedangkan menurut kaum filosof adalah tidak selalu tanpa sebab bisa juga bererti sesuatu yang berwujud dengan sebab.
Al-Ghazali telah salah memahami pendapat para filosof, bahwa sebenarnya para filosof tidak mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang sifatnya partikular, namun untuk mengetahui hal itu Tuhan dapat mengetahuinya dengan pengetahuan tuhan yang sifatnya kully.
Dalam persoalan jasmani, Ibn Rusyd dan Al-Ghazali tidak jauh berbeda karena Ibn Rusyd tidak menafikan adanya pembangkitan jasmani dan ruhani, tetapi itu dipergunakan untuk penjelasan bagi orang awam karena hal-hal yang bersifat ruhani jauh lebih tinggi daripada hal-hal yang bersifat materil.

Daftar Pustaka

§  Ahmadi, A., Filsafat Islam. Semarang: Toha Putra, 1988.
§  Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal. Kairo:Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977.
§  ________, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya, (ed). Kairo: Dar al Ma’arif,tt.
§  Daudi, Ahmad Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
§  Hanafi, A., Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995.
§  Hasbullah, H., Disekitar Filsafat Skolastik Islam. Jakarta: Tintamas, 1984.
§  Musa, Mhd. Yusuf, Bain al-Din wa al-Falsafah. Kairo: Dar Ma’arif, 1971.
§  Nasution, Harun, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II. Jakarta: UI-Press, 1979.
§  Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
§  Syarif, M.M (ed), A History of Muslim Philosofhy, vol Ibn Rusyd-II,. Wesbaden: Otto Harrowits, 1963.
§  Rusyd, Ibn, Tahafut al-Tahafut, (ed), Sulaiman Dunya. Mesir: Dar al-Ma’arif, tt.
==============
§  1 Al-Ghazali, Al-Munqidz Min al Dhalal (Kairo:Al-Matba’ah al-Islamiyah, 1977), hal 26
§  3 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jld II (Jakarta: UI-Press, , 1979) Hal.65
§  4 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Duya, (ed) (Kairo: Dar al Ma’arif,tt.), Hal.88
§  5 Ibid, Hal. 118
§  6 Ibid, Hal. 96. A.Ahmadi, Filsafat Islam (Semarang: Toha Putra, 1988), Hal.216. A.Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), Hal. 114
§  7 A.Ahmadi, Ibid, Hal. 217-219. A.Hanafi, Ibid, Hal. 147
§  8 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Hal.38
§  9 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), Hal. 85
§  12 Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Hal. 213
§  13 Nama lengkapnya adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad ibn Rusyd, ia lahir di cordova pada tahun 520 H/1126 M, kakeknya adalah seorang hakim agung di Cordova yang bermazhab Maliki. Ibn Rusyd mampu menghapal kitab Al-Muwatta’ iamam Malik pada saat ia masih muda dan belajar ilmu fiqih dari ayahnya, disamping itu juga ia belajar ilmu kedokteran, logika, filsafat, teologiv dan lain-lain, pada tahun 1169 M ia diangkat menjadi qadhi di Seville. Sejak saat itu ia mulai menafsirkan karya-karya Aristoteles atau permintaan khalifah, , dan ia terkenal dengan “komentor Aristoteles”, sejak saat itu kedudukannya semakin tinggi dan ia makin dihormati. Dua tahun menjadi qadhi di Seville, ia kembali ke Cordova menduduki jabatanhakim agung “qadhi qudha”, selanjutnya pada tahun 1182 ia diangkat menjadi dokter pribadi dikalangan istana Muwahiddin Maroko menggantikan Ibn Tufail. Akibat pengaruh politik, tahun 1195 M, Ibn Rusyd diangkat dan diasingkan ke Luzena. Ia dituduh sebagai seorang zindiq dan kafir oleh ulama dan fuqaha yang membantu khalifah melawan kaum kristen. Kemudian bukunya dibakar terutama buku-buku filsafat kecuali buku kedokteran, astronomi dan matematika. Atas jasa baik dari pemuka kota Seville yang menghadap khalifah untuk membujuk dan membebaskan Ibn Rusyd, akhirnya ia dibebaskan dan kembali ke Maroko dan meninggal disana pada tahun 1198 M, dalam usia 78 tahun, lihat Ahmad Daudi, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Hal.153-154, lihat juga Dr.Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Hal. 113
§  14 M.M/Syarif, (ed),A History of Muslim Philosofhy, vol Ibn Rusyd-II,Wesbaden:Otto Harrowits, 1963, Hal 220
§  15 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Hal.66
§  16 ibid. Hal. 51-52
§  18 Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (ed), Sulaiman Dunya (Mesir: Dar al-Ma’arif, tt), Hal. 160
§  19 H.Hasbullah, Disekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta: Tintamas, 1984), Hal. 72
§  20 Mhd. Yusuf Musa, Bain al-Din wa al-Falsafah (Kairo: Dar Ma’arif, 1971), hal.223.
§  21 Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, hal.362.
§  22 Harun Naution, Falsafat dan Mitisme, hal.54.



HUKUM SHALAT BERJAMA'AH TAPI MAKMUM TIDAK BISA MELIHAT GERAKAN IMAM KARNA TERHALANG TEMBOK ATAU MAKMUM BISA MELIHAT MONITOR TV DAN SUARA

Diantara syarat sah menjadi ma'mum, adalah mengatahui akan pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya. Mengetahuinya itu, baik dengan melihat sendiri atau melihat sebagian shaf, atau mendengar suara imam atau suara muballigh yang tsiqoh (terpercaya).
Dan kalau salah seorang daripada ma'mum atau imam berada di ruangan bawah dan yang lainnya di ruangan atas atau sebaliknya, maka hukumnya adalah :

- Bila ruangan bawah dan ruangan atas dua-duanya masjid, maka disyaratkan –disamping mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya dan tidak mendahuluinya ma'mum atas imam pada tempat berdiri- adanya tangga penghubung yang menghubungkan antara dua ruangan tersebut, sehingga ma'mum dapat sampai menuju imam, meskipun tangga penghubung itu adanya dibelakang.

- Bila ruangan atas masjid dan ruangan bawah bukan masjid atau sebaliknya, maka disyaratkan –disamping mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya dan tidak mendahuluinya ma'mum atas imam pada tempat berdiri- adanya tangga penghubung yang menghubungkan antara dua ruangan tersebut di bagian depan, sehingga ma'mum dapat sampai menuju imam tanpa membelakangi kiblat  atau memutar. Dan juga jarak antara keduanya tidak lebih dari 300 hasta (+ 150 Meter)   

Jadi, jawaban kami untuk pertanyaan bapak, adalah sah mengikutnya ma'mum yang mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun kepada rukun yang lainnya, melalui pengeras suara atau TV monitor yang ada pengeras suaranya itu asalkan ada penghubung antara ruangan ma'mum yang di atas dengan imam yang di bawah atau sebaliknya, penghubungnya dengan tangga atau seumpamanya.

Sebagai landasan jawaban, kami ingin membacakan firman Allah SWT dan hadits Nabi, sebelum pendapat-pendapat para ulama yang masyhur-masyhur, adalah sebagai berikut :
قال تعالى : وما ءاتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا [الحشر : 7]
Artinya : apa yang didatangkan Rasul kepadamu maka ambillah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. ( QS. Al Hasyr : 7)

قال تعالى : فاسئلوا أهل الذكر ان كنتم لا تعلمون [النحل : 43]
Artinya : maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai ilmu jika kamu tidak mengetahui. (QS. An Nahl : 43)
عن عائشة رضى الله عنها قالت : صلى النبي صلى الله عليه وآله وسلم فى حجرتى ، والناس يأتمون به من وراء الحجرة ، يصلون بصلاته

Artinya : Diriwayatkan dari Siti Aisyah r.a ia berkata : " Nabi SAW pernah shalat di kamarku, dan orang-orang berma'mum kepadanya dari balik kamar, mereka shalat mengikut  dengan  shalatnya Nabi. (HR. Al Bukhori dan Ahmad Bin Hanbal)

Hadits di atas menunjukkan bahwa boleh berma'mum kepada Imam meskipun antara keduanya terhalang tembok dan lainnya.

Karena yang mengerti maksud Nabi adalah ulama, baiklah di sini saya akan melanjutkan dengan komentar-komentar dan pandangan para ulama tentang jawaban pertanyaan bapak, agar lebih yakin dan lebih jelas.

Al Imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu' Syarah Al Muhadzzab jilid 4 halaman 134, menghikayatkan ijma' ulama tentang masalah ini, kesimpulannya adalah sebagai berikut :

اذا تباعدت الصفوف عن الامام وكانت الصلاة فى المسجد صح الاقتداء اذا علم المأموم صلاة الامام سواء حال بينهما حائل أم لا وسواء قربت المسافة بينهما أم بعدت لكبر المسجد وسواء اتحد البناء ام اختلف كصحن المسجد وصفته وسرداب فيه وبئر مع سطحه وساحته ، فى كل هذه الصور وما أشبهها تصح الصلاة اذا علم صلاة الامام ولم يتقدم عليه سواء كان المأموم أعلى من الامام  أو أسفل منه ولا خلاف فى هذا  ونقل أصحابنا فيه اجماع المسلمين

Artinya : Apabila shaf itu jauh dari imam dan shalatnya di masjid, maka shah pengikutan itu , bila ma'mum mengetahui akan shalatnya imam . sama saja apakah terhalang oleh penghalang antara keduanya atau tidak, sama saja apakah jarak keduanya dekat atau jauh karena besarnya masjid, sama saja, apakah sama ruangan ma'mum dan imam  atau  berbeda, seperti bagian tengan masjid, atau terasnya, atau grounnya dan sumurnya, serta ruangan ruangan atasnya dan halaman atasnya. Pada gambaran-gamabaran ini dan seumpamanya, maka sah shalat itu bila ma'mum mengetahui shalatnya imam dan tidak mendahului barisannya atas imam. Sama ada ma'mum itu lebih tinggi dari imam atau di bawah. Dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang masalah ini. Dan para ashab syafi'I menukilkan akan adanya ijma'ulama muslimin tentang masalah ini.

Tersebut dalam kitab Al Yaqut An Nafiis, karya  As Syeikh Sayyid Ahmad bin Umar As Syathry Al Husainy , hal 46 sebagai berikut :

وأن يعلم انتقالات إمامه [بأن يراه أو يرى بعض المأمومين أو يسمع صوتا ولو من مبلغ ولو غير مصل] وأن يجتمعا فى مسجد [وإن بعدت المسافة وحالت الأبنية لكن بشرط إمكان المرور العادى من كل من محليهما الى الآخر ولو بازورار وانعطاف ]
Artinya : Dan diantara syarat sah berjama'ah yaitu, hendaklah ma'mum mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya. Ma'mum mengetahuinya dengan cara ia melihat sendiri, atau melihat sebagian ma'mum, atau mendengar suara, meskipun dari muballigh dan meskipun muballignya itu tidak shalat. Dan diantara syarat sah berjama'ah yaitu, hendaklah keduanya (ma'mum dan Imam) berkumpul dalam satu masjid. Meskipun jaraknya jauh dan terhalang oleh bangunan-bangunan (seperti yang satu pada lantai bawah dan yang satunya pada lantai atas) tetapi dengan syarat dimungkinkan berjalan yang bangsa adat dari tiap-tiap satu dari keduanya menuju yang lainnya, walaupun dengan berputar dan berbelok) dari arah kiblat.

Dan juga tersebut dalam kitab Faydhul Ilaahil Maalik karya Al Allamah Sayyid Umar Barkat bin Sayyid  Muhammad Barkat As Syamy, Juz I  halaman 172 Sebagai berikut :

ومتى اجتمع الإمام والمأموم فى مسجد صح الإقتداء مطلقا وإن تباعدا أو اختلف البناء مثل أن يقف احدهما فى السطح والآخر فى بئر فى المسجد وإن أغلق باب السطح لكن يشترط العلم بانتقالات الإمام إما بمشاهدته أو سماع مبلغ
Artinya : Manakala berkumpul imam dan ma'mum di masjid, maka sah berma'mum secara mutlak, meskipun jauh keduanya ataupun meskipun berbeda ruangannya, seprti berdiri salah satu keduanya di atas dan yang lainnya di sumur masjid, meskipun terkunci pintu yang atas, akan tetapi disyaratkan mengetahui pindah-pindahnya imam (dari satu rukun ke rukun yang lainnya). Adakalanya dengan melihat baginya, atau mendengar suara muballigh.

Dan juga tersebut dalam kitab Fathul Mu'in, karya Syeikh Zainuddin Al Malibary halaman 36 sebagai berikut :
ومنها علم بانتقال إمام برؤية له او لبعض صف او سماع لصوته او صوت مبلغ ثقة ، ومنها اجتماعهما اي الامام والمأموم بمكان كما عهد عليه الجماعات فى العصر الخالية ، فان كانا بمسجد... صح الإقتداء به وان زادت المسافة بينهما على ثلاثمائة ذراع او اختلفت الأبنية بخلاف من ببناء فيه لا ينفذ بابه اليه بأن سمر أو كان سطحا لا مرقى له منه فلا تصح القدوة حينئذ

Artinya : Dan diantara syarat sah berma'mum, yaitu mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya. dengan cara melihat sendiri baginya, atau melihat sebagian shaf, atau mendengar suara imam, atau suara muballigh yang kepercayaan. Dan diantara syarat sah berma'mum, yaitu berkumpul kedua ma'mum dan imam pada tempat sebagaimana telah diketahui atasnya berjama'ah pada masa-masa yang lampau. Kalau kedua imam dan ma'mum itu berada dalam satu masjid …. Maka sah berma'mum, meskipun jarak antara keduanya melebihi 300 hasta dan meskipun berbeda-beda ruangannya. Lain halnya orang yang berada pada ruangan  masjid yang tidak tembus pintu ruangan itu ke masjid dengan dipaku pintunya itu, atau adalah ma'mum itu di tingkat atas yang tidak ada tangga penghubung padanya, maka tidak sah berma'mum, karena tidak berhimpun ketika itu.

Dari sinilah dapat diambil faham, bahwa bila ma'mum berkumpul dengan imam di masjid, si ma'mum di lantai atas dan imam di lantai bawah atau sebaliknya dan masih terdengar suara imam, dan ada tangga penghubung antara lantai satu dan atas maka mengikutnya ma'mum kepada imam hukumnya sah karena masih dikatakan berkumpul dengan imam ketika itu.

Dan juga tersebut dalam kitab Nihayatuzzein, Karya Syeikh Nawawi bin Umar al Bantani, halaman 122 sebagai berikut :
(فان كانا بمسجد) فالمدار على العلم بالانتقالات بطريق من الطرق المتقدمة ، وحينئذ  (صح الإقتداء) وان بعدت المسافة بينهما وزادت على ثلاثمائة ذراع ، ولا بد من إمكان الوصول الى الإمام ولو بازورار وانعطاف  ... ولو كان احدهما بعلو كسطح المسجد أو منارته والآخر بسفل كسردابه أوبئر فيه لا يضر

Artinya : Maka kalau keduanya ( imam dan ma'mum) itu berada dalam satu masjid, maka patokannya atas mngtahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya deengan satu cara dari cara-cara yang terdahulu. Ketika itu, maka sah berma'mum, meskipun jarak antara keduanya jauh dan lebih dari 300 hasta. Dan tak dapat tidak daripada penghubung ma'mum agar bisa sampai kepada imam,  meskipun berputar dan berbelok. …. Kalau salah satu keduanya di ruangan atas seperti loteng masjid atau menaranya dan yang satunya di ruangan bawah seperti bangunan dibawah tanah atau sumur yang di area masjid makahukumnya tidak mengapa.yakni sah berma'mumnya.

Dan tersebut dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, karya Syaikh Al Allamah Sayyid Abdurrahman  bin Muhammad Al Masyhur, halaman 71 sebagai berikut :
لا يشترط فى المسجد كون المنفذ أمام المأموم أو بجانبه  بل تصح القدوة وان كانت خلفه وحينئذ لو كان الامام فى علو والمأموم فى سفل او عكسه كبئر ومنارة وسطح فى المسجد وكان المرقى وراء المأموم بأن لا يصل الى الامام الا بازورار بان يولى ظهره القبلة صح الإقتداء لاطلاقهم صحة القدوة فى المسجد وان حالت الأبنية المتنافذة الأبواب اليه والى سطحه فيتناول كون المرقى المذكور امام الإمام او وراءه او يمينه او شماله بل صرح فى حاشية النهاية والمحلى بعدم الضرر وان لم يصل الى ذلك البناء الا بازورار وانعطاف نعم ان لم يكن بينهما منفذ اصلا لم تصح القدوة على المعتمد

Tidak disyaratkan pada masalah masjid keadaan penghubung itu di depan ma'mum atau di sampingnya. Bahkan sah berma'mum meskipun penghubung itu di belakang ma'mum. Dari sinilah, kalau sekiranya imam ada di ruangan atas dan ma'mum berada di ruangan bawah atau sebaliknya seperti di sumur, menara dan loteng masjid sementara tangga penghubung adanya di belakang ma'mum dengan artian ma'mum tidak dapat sampai kepada imam kecuali dengan berbelok dengan memalingkan punggungnya dari arah kiblat maka sah hukum berma'mumnya. karena para ulama memutlakkannya akan keesahan berma'mum di masjid, meskipun terhalang bangunan yang terhubung pintu-pintunya ke masjid atau lotengnya. Maka dari kemutlakan itu, tercakuplah keadaan tangga penghubung tersebut adanya di depan ma'mum atau di belakang atau samping kanan atau samping kiri ma'mum. Bahkan dijelaskan dengan tegas dalam kitab Hasyiah Nihayatul Muhtaj dan Hasyiah Al Mahally dengan tidak madhorot/mengapa. Meskipun tidak sampai ke ruangan itu kecuali dengan berbelok dan berpaling. Tetapi, kalau tidak ada penghubung sama sekali antara ma'mum dan imam maka tidak sah berma'mumnya menurut qaul mu'tamad.

Dan tersebut dalam kitab Al Fawa'id Al Tsaminah, karya Al Allamah Al Habib Muhammad bin Salim bin Hafiizh Al Husainy Hal 96 sebagai berikut :
اعلم أن للإمام والمأموم ثلاث حالات الحالة الاولى : أن يجتمعا فى مسجد فيشترط العلم بانتقالات الامام وعدم التقدم عليه فى الموقف وان يمكن الوصول الى الامام ولو بازورار وانعطاف الحالة الثانية والثالثة أن يكونا خارج المسجد او يكون احدهما فى المسجد والآخر خارجه فيشترط مع ماذكر ان يمكن الوصو الى الامام بغير ازورار وانعطاف وان لايكون بينهما حائل يمنع الرؤية او المرور وان لا يزيد ما بينهما على ثلاثمائة ذراع تقريبا

Artinya : Ketahuilah ! bahwa bagi imam dan ma'mum mempunyai tiga keadaan. Pertama, keduanya berkumpul di masjid, maka disyaratkan mengetahui dengan pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya, tidak mendahului imam pada tempat berdiri dan ada penghubung yang dapat sampai ke imam meskipun dengan berputar dan berbelok. Kedua,  ma'mum dan imam berada di luar masjid dan ketiga salah satu keduanya di masjid dan yang satunya di luar masjid, maka pada dua keadaan in,- disamping syarat yang telah tersebut dahulu itu- disyaratkan dapat sampai kepada imam dengan tidak berbelok dan berpaling dari arah kiblat, tidak ada penghalang antara ma'mum dan imam yang mencegah melihat atau berjalan menuju imam danjarak antara imam dan ma'mum  tidak lebih atas jarak +300 hasta.

Dari uraian di atas, timbul pertanyaan, bagaimana kalau pengeras suara itu mati ditengah-tengah pelaksanaan berjama'ah? Bagaimana hukumnya.

Kalau keadaannya seperti itu, maka ma'mum wajib mufarokoh, kalau tidak maka shalatnya ma'mum tidak sah.

Tersebut dalam kitab Ad Durrotul Yatimah, karya Al Allamah Sayyid Muhammad bin Ali bin Muhammad Ba Athiyyah, halaman 176 sebagai berikut :

لو صلى مع إمام فى مسجد والامام فى الدور الاسفل والمأموم فى الدور الأعلى وكان علمه بانتقالات الإمام عن طريق مكبر الصوت  فطرأ عليه عطب عليه أعدم المأموم معرفة انتقالات الإمام ولا وسيلة الى علمه بالإنتقالات فعند ذلك يفارق المأموم الإمام ويكمل الصلاة

Artinya : Kalau seseorang shalat bersama imam di masjid, imam berada di lantai bawah dan ma'mum berada di lantai atas, sementara tahunya ma'mu akan pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya hanya melalui pengeras suara, lalu tiba-tiba rusak sehingga ma'mum tidak mengetahui pindah-pindahnya imam dari satu rukun ke rukun yang lainnya dan tidak ada jalan untuk mengetahui imam dengan pindah, maka ketika itu, ma'mum hendaklah mufarokoh dengan imam dan menyempurnakan sahalatnya sendiri-sendiri.
Dan juga, kalau tidak ada hajat, seperti ruangan bawah sudah penuh, makruh hukumnya ma'mum lebih tinggi dari imam atau sebaliknya, sebagaimana tersebut dalam kitab As Syamsul Muniroh, karya Al Allamah Al Habib Ali Bin Hasan Ba Harun, Juz I halaman 354 sebagai berikut :
يكره ارتفاع المأموم على الإمام وعكسه بلا حاجة ولو فى المسجد ارتفاعا يظهر حسا وان قل حيث عده العرف ارتفاعا ومحل الكراهة اذا امكن وقوفهما على مستو والا بان كان موضع الصلاة  موضوعا على هيئة فيها ارتفاع وانخفاض فلا كراهة وفى فتاوى الحمال الرملى اذا ضاق الصف الاول عن الاستواء يكون الصف الثانى الخالى عن الارتفاع اولى من الصف الاول مع الارتفاع

Artinya : Makruh hukumnya ma'mum lebih tinggi tempatnya dari imam atau sebaliknya bila tida ada hajat, meskipun di masjid dengan tinggi yang jelas secara nyata , meskipun sedikit, sekiranya 'uruf menganggap tinggi. Tempatnya makruh bila memungkinkan berdiri keduanya pada tempat yang rata , kalau tidak, seperti tempat shalatnya dibentuk  dengan tinggi dan rendah maka tidak makruh. Dan disebutkan dalam kitab Fatawi karangan Imam Jamaluddin Ar Romly : Bila shof awal telah penuh (sempit) dengan lurus sama imam dalam satu ruangan, maka shof kedua yang masih selantai lebih utama dari shof awal namun di bagian yang tinggi.
   
Demikian jawaban kami yang telah dimudahkan oleh Allah SWT, semoga dapat difahami  dan membawa manfa'at. Wallaahul muaffiq.

Sebagai penutup, ada baiknya kami tuliskan syarat-syarat berma'mum yang lengkapnya, adalah sebagai berikut:
Tersebut  di dalam kitab Fathul Allam Jilid 2 hal. 496-533 karangan Al Imam Sayyid Muhammad bin Abdullah Al Jurdany dan pada kitab Nadhjul kalam fi Nushil Imam halaman 230-234 karangan Syeikh  Ahmad bin Muhammad Al Manufy :
وشروط القدوة سبعة  ١ أن لا يتقدم المأموم على الإمام فى جهة القبلة بعقب ٢ نية القدوة ٣ توافق نظم الصلاتين فى الافعال والاركان  ٤ الموافقة اي موافقة المأموم الإمام فى سنن تفخش فيها المخالفة ٥ متابعة الإمام اي عدم سبقه اي المأموم لإمامه أو تخلفه عنه بركنين فعليين ٦ العلم بالافعال الظاهرة من صلاة الإمام إما بمشاهدة الإمام وإما مشاهدة بعض الصفوف وإما بسماع صوت الإمام أو صوت المبلغ ٧ اجتماع الإمام والمأموم فى الموقف 
Artinya : Syarat-syarat mengikut imam itu ada tujuh . 1. ma'mum tidak mendahului imam pada arah kiblat, dengan tumitnya. 2. niat berma'mum. 3. bersesuaian aturan shalat imam dan ma'mum pada perbuatan dan rukunnya. 4. mengikut, yakni bersesuaian ma'mum dengan imam pada sunat-sunat yang mencolok menyalahinya (seperti tasyahud awal) 5. mengikut imam, yakni tidak mendahului imam atau terbelakang dari imam dengan dua rukun fi'ly. 6. mengetahui perbuatan yang zhahir dari imam, adakalanya melihat langsung, atau melihat sebagian shaf, dan adakalanya mendengar suara imam atau suara muballigh. 7. berkempul imam dan ma'mum dalam satu tempat.

Adapun syarat berma'mum kepada imam pada hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat imam ada 5. sebagaimana tersebut  di dalam kitab  At Taqrirotus sadiidah jilid 1 hal. 292-293 karangan Syeikh  Al habib Hasan bin Ahmad Al Kaf :

وشروط صحة القدوة  (اي حال المأموم مع الإمام اي المتعلقة بصفات الإمام) خمسة : [1] أن لا يعلم المأموم بطلان صلاة إمامه [2] أن لا يعتقد المأموم وجوب قضاء الصلاة على الإمام [3] أن لا يكون الإمام مأموما [4] أن لا يكون الامام أميا [5] أن لا قتدى الرجل بامرأة أو خنثى  

Artinya : Syarat-syarat sah mengikut imam yakni syarat yang bertalian dengan imam ada lima . 1. Hendaklah ma'mum tidak mengetahui batalnya shalat imam. 2. hendaklah ma'mum tidak berkeyakinan akan wajib mengulang shalatnya si imam. 3. Hendaklah imam itu tidak masih berstatus ma'mum. 4. hendaklah imamnya itu bukan ummy (orang yang tidak bisa membaca fatihah dengan benar) 5. hendaklah laki-laki tidak berma'mum kepada Imam perempuan atau banci.