4 JENIS MANUSIA BERDASARKAN PENGETAHUANNYA
Imam Ghazali memaparkan bahwa manusia terbagi kedalam 4 (empat) jenis
golongan, 4 golongan yang dimaksud adalah :
1. Rojulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri
Seseorang yang tahu, dan
dia tahu kalau dirinya tahu.
Orang seperti ini biasanya
disebut ‘Alim “mengetahui”. Terhadap orang yang seperti ini yang harus kita
lakukan adalah dengan mengikutinya, apalagi kalau kita masih awam dan butuh
banyak ilmu. Maka, sudah sepatutnya kita mencari orang seperti ini.
Ini adalah jenis manusia
yang paling baik berdasarkan ilmu pengetahuannya, ia tidak hanya memiliki pengetahuan
yang luas tetapi juga dia menyadari kemapanan ilmunya sehingga ia
mengamalkannya di jalan Allah SWT. Ia senantiasa berusaha semaksimal mungkin
untuk mengamalkan ilmunya demi kemaslahatan umat. Orang seperti ini meskipun
pengetahuannya luas dan mapan, ia tidak sombong dan tidak berhenti belajar.
Manusia jenis ini adalah
manusia unggul, manusia seperti inilah yang mampu merubah dunia kearah yang
lebih baik, mereka layak menjadi lifemaking. Jumlah manusia seperti ini
tidaklah banyak, tapi setiap dimana ia berada ia akan menjadi nyawa bagi
kehidupan umat manusia lainnya. Subhanallah… dimanakah orang-orang yang seperti
ini ?
2. Rojulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri
Seseorang yang tahu, tapi
dia tidak tahu kalau dirinya tahu.
Untuk tipe yang seperti ini,
mungkin bisa kita umpamakan orang yang tengah tertidur, lalu bagaimana sikap
kita dengan orang yang seperti ini ?, bangunkan dia !. Manusia seperti ini
sesungguhnya memiliki ilmu dan kecakapan, tapi dia tidak pernah menyadari bahwa
sesungguhnya dia memiliki potensi yang luar biasa tersebut. Manusia seperti ini
sering kita jumpai disekeliling kita, keberadaannya seakan-akan tidak berguna
selama dia belum bangun (menyadari kemampuannya).
Sekali lagi orang-orang
seperti ini harus segera dibangunkan, karena ilmunya yang tidak segera
diamalkan bisa bagaikan pohon yang tidak berbuah, adanya dia menjadi seperti
tidak ada. Untuk yang merasa teman baginya, ingatkan dia, yakinkan dia bahwa
dia memiliki potensi untuk bisa.
3. Rojulun Laa Yadri Wa Yadri Annahu Laa Yadri
Seseorang yang tidak tahu,
tapi dia tahu (sadar diri) kalau dia tidak tahu.
Orang-orang seperti ini
adalah orang yang masih awam, masih lemah pengetahuannya, masih (maaf) bodoh
pengetahuannya. Maka bagi orang-orang yang berilmu yang berada disekitarnya
adalah berkewajiban untuk merangkul dan mengajarinya.
Menurut Imam Ghozali, jenis
manusia seperti ini masih tergolong baik. Sebab manusia seperti ini menyadari
akan kekurangannya, ia bisa mengintropeksi dirinya dan bisa menempatkan diri
sepantasnya. Karena ia tahu akan segala kekurangannya, ia terus berusaha
menyempurnakannya. Dengan terus berusaha belajar, sangat diharapkan suatu saat
nanti bisa berilmu dan tahu kalau dirinya punya ilmu yang harus diamalkan.
Meskipun tergolong baik,
tapi ini bukan tipe manusia yang bisa membuat perubahan nyata bagi
lingkungannya. Sebab, tanpa ilmu pengetahuan yang cukup, maka manusia tidak
bisa berinovasi.
Baiknya, tipe manusia ini
dengan kesadaran dan akal sehatnya tidaka akan menghalangi sebuah proses
perubahan kearah yang lebih baik. Dia tidak akan berani nekat memegang amanah
yang ia rasa tidak memiliki kemampuan untuk memegangnya, sebab ia tahu siapa
dirinya.
4. Rojulun Laa Yadri wa
Laa Yadri Annahu Laa Yadri
Seseorang yang tidak tahu,
dan dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu.
Inilah jenis manusia yang
paling buruk, tidak tahu diri dan tidak berguna. Ia selalu merasa mengerti,
merasa benar, merasa memiliki ilmu, padahal ia tidak tahu apa-apa. Repotnya
manusia seperti ini susah sekali untuk disadarkan, ketika pendapatnya sudah
patah dan lemah sekalipun ia tetap mencari-cari alasan untuk membenarkan
kesalahannya tersebut. Kalau diingatkan ia akan membantah sebab ia merasa tahu
atau bahkan merasa lebih tahu. Jenis seperti ini paling susah dicari
kebaikannya.
Jangan ikuti orang seperti
ini, kalau memang kita merasa tidak sanggup untuk menyadarkannya maka lebih
baik meninggalkannya ketimbang kita yang akan terpengaruh oleh dia. Ingat, ilmu
yang palsu (keliru) jauh lebih berbahaya dari kebodohan.
Terlalu banyak istilah
untuk menggambarkan orang seperti ini, hal ini sebanding dengan banyaknya
manusia jenis seperti ini (atau bahkan jangan-jangan diri kita sendiri ?,
naudzubillah….). Biasanya orang seperti inilah yang gampang terbawa aliran
sesat atau bahkan menyesatkan. Meninggalkannya masih jauh lebih baik daripada
banyak berdebat yang hanya akan menimbulkan pertikaian, debat yang tak’ akan
pernah berkesudahan karena jalur pemikirannya sendiri sudah berbeda. Kita ke
Timur dia ke Barat.
MACAM-MACAM ORANG
Pertama : Seorang hamba yang dikaruniai harta dan ilmu. Dia bertakwa kepada Tuhannya dan mempererat hubungan kekeluargaan serta mengetahui pula haknya Allah dalam apa yang dimilikinya itu, dialah seutama-utamanya.
Kedua : Seseorang hamba yang dikaruniai ilmu tanpa harta. Orang
itu benar niatannya, lalu ia berkata: "Andaikata saya mempunyai harta,
niscaya saya akan melakukan sebagaimana yang dilakukan si Fulan itu. Karena
niatannya tadi, pahalanya sama antara ia dengan orang yang akan dicontohnya.
Ketiga : Seseorang hamba yang dikaruniai harta tanpa ilmu. kemudian
ia mempergunakan hartanya dalam hal-hal yang buruk. Serta ia tidak pula
bertakwa kepada Tuhannya dan tidak suka mempereratkan tali kekeluargaannya,
bahkan tidak pula mengetahui hak-hak Allah dalam hartanya itu, maka dialah
seburuk-buruk hamba.
Keempat : Seseorang hamba yang tidak dikaruniai harta dan tidak
pula ilmu. Lalu ia berkata: "Andaikata saya mempunyai harta niscayalah
saya akan melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh si Fulan. Maka orang ini
karena niatannya adalah sama dosanya dengan orang yang akan dicontohnya
itu."
TIGA MACAM ORANG BERILMU
KARENA para ulama itu
adalah warastatul anbiya’, pewaris para nabi. Maka secara definitife syar`iy
ulama adalah seseorang yang seluruh hidupnya dicurahkan untuk mengembangkan
ajaran Islam, lurus Aqidahnya, berilmu tinggi dan sangat mendalam dalam
pemahaman, berpribadi serta berakhlak luhur dan rendah hati, dapat dipercaya
dan konsisten (istiqamah), bijaksana, dan tidak terperangkap dengan nafsu
duniawi.
Tetapi kini kita coba
membincangkan ulama dalam tataran definisi secara lughawi saja. Secara
kebahasaan, ‘ulama’ berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui);
berubah menjadi kata benda pelaku, isim fa’il -‘alimun- (orang yang mengetahui
– mufrad/singular) dan kata ‘ulama adalah (jamak taksir). Artinya ulama adalah
seseorang yang menguasai berbagai ilmu.
Menurut al-Ghazali dalam
Ihya`nya ulama itu di bagi menjadi tiga bagian.
Pertama, ada ulama yang merusak dirinya sendiri dan merusak
orang lain, dhillun-mudhillun. Mereka adalah orang-orang berilmu yang
terang-terangan mencari dunia dan berorientasi serta menghadap pada
kesenangan-kesenangan duniawi semata melalui ilmu agama. Dalil-dalil al-Qur`an
dan hadits yang telah dia kuasai, di gunakan untuk memperkuat hubbul-jah, gila
hormat, jabatan, kekayaan. Dengan menafsiri ayat-ayat sesuai nafsu serakahnya
kepada keduniaan. Bahkan dengan dalil-dalil yang sama dia mengajak orang lain untuk
mensejajarkan barisan dengannya. Mereka inilah yang oleh al-Qur`an di sebut
sebagai “orang yang tersesat jalannya, sedangkan mereka menyangka bahwa jalan
yang di laluinya adalah sebaik-baik jalan.” Jadi, ilmunya hanya di gunakan
untuk mendukung kejahatan-kejahatan dan akhlak buruknya.
Kedua, ada ulama yang menguntungkan diri sendiri dan juga mengajak orang lain
untuk mendapat keuntungan yang abadi. Mereka adalah orang-orang yang mengajak
masyarakat kepada Allah subhanhu wata`ala lahir dan batin. Ulama yang ini
mendidik, mengajak serta membimbing orang lain untuk beribadah hanya untuk
Allah, tidak untuk kepentingan-keentingan yang lain. Ibadahnya di arahkan hanya
untuk Allah, bahkan bukan hanya ibadah yang di jadikan sebagai ibadah yang di
persembahkan untuk Allah, pekerjaan biasa harian pun, di arahkan supaya menjadi
ibadah. Seperti makan, minum, berpakaian, supaya menjadi ibadah beliau dengan
telaten membimbing ummat; dahului semuanya dengan basmalah dan do`a, kemudian
lakukan semuanya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Niscaya
pekerjaan-pekerjaan biasa harian itu akan menjadi ibadah. Memasang sandal,
bagaimana adabnya supaya amaliyah tersebut dapat menjadi ibadah dan masih
banyak lagi hal-hal lain yang senada dengan ini semua. Begtulah ulama yang benar-benar
ulama; menyelamatkan dirinya dan juga menggiring serta membawa orang lain untuk
tulus mengabdi kepada Allah demi mencapai keselamatan hidupnya dengan kasih
sayang yang tulus dan tidak mengharapkan balasan apapun. Beliau ini tidak
mencari popularitas, karena popularitas sangat bertentangan dengan sifat
tawaduk dan ikhlasnya. Benarlah sebuah maqalah yang mengatakan: “Ulama itu
ketika mengetahui sesuatu akan di amalkan, ketika mengamalkan beliau akan
sibuk, ketika sibuk beliau akan sulit di temukan, ketika sulit di temukan
beliau akan di cari, ketika di cari beliau akan menghindar.”
Ketiga, ulama yang merusak dirinya sendiri, namun menguntungkan
orang lain. Yaitu orang alim yang mengajak kepada akhirat, dan dia sendiri pada
lahiriyahnya telah meninggalkan kesenangan-kesenangan duniawi. Tetapi batinnya
tetap bermaksud menghadap dan menegakkan kedudukannya di hati orang serta
status sosialnya di tengah-tengah masyarakat.
Kehebatan di atas podium
tidak di imbangi kehebatan amaliyahnya, apa yang dia bicarakan adalah syai`un,
sedangkan tingkah lakunya syai`un akhar. Ketika dia mengajak orang lain untuk
tekun dan rajin ibadah, maka orang-orang betul-betul memperhatikannya, dalam
waktu singkat para pendengar itu semakin meningkatlah taqarrubnya kepada Allah,
sedangkan diri yang menyampaikan -yang oleh orang di sebut sebagai ulama- tetap
dalam keadaan semula. Keadaan ini persis seperti lilin, yang membakar diri
sendiri, tetapi menerangi yang lainnya. Juga seperti tukang bangunan; pinter
membuat megah dan indah rumah orang lain, tetapi mereka sering lupa untuk
memperbaiki rumah sendiri. Juga seperti sepotong jarum, pintar membuat baju
untuk orang lain, sementara dirinya tetap telanjang.
Benarlah apa yang di
sabdakan oleh Rasulullah Saw; “innallaha la yu`ayyidu hadza-ddina birrajulil
fajir, Sungguh Allah akan menguatkan agama ini dengan kaum-kaum yang durhaka.”
Yang di maksud fajir di sini adalah mereka yang bangga dengan tumpukan
pengetahuannya sehingga mempesona banyak orang tetapi amaliyahnya jauh dari
sinaran ilmu yang telah di kuasai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar